Oleh: Hasanul Rizqa
Sebagai negeri berpenduduk Muslimin terbesar sedunia, Indonesia menyumbang jumlah jamaah haji yang begitu signifikan—bila tidak selalu yang paling banyak. Sejarah mencatat, orang Nusantara telah pergi ke Tanah Suci sejak berabad-abad silam. Untuk sampai di Haramain, terutama sebelum ditemukannya pesawat terbang, mereka memanfaatkan jalur maritim yang menghubungkan Jazirah Arab dan Nusantara via Laut Arab dan Samudra Hindia.
Menurut Shaleh Putuhena dalam buku Historiografi Haji Indonesia, Ludovico di Barthema sempat menjumpai seorang Nusantara di Makkah pada 1503 M. Namun, lanjut Putuhena, tidak jelas dari mana persisnya laki-laki yang dimaksud; apakah Sumatra, Jawa, atau wilayah lainnya di Indonesia. Adapun di Barthema merupakan orang Italia non-Muslim pertama yang berhasil memasuki kota suci umat Islam tersebut. Ia mendeskripsikan orang Nusantara yang dijumpainya itu sebagai “lelaki dari India Timur kecil.”
Menurut Azyumardi Azra dalam artikel “Orang Indonesia Naik Haji” (2014), berbagai periwayatan tradisional—seperti hikayat, tambo, atau babad—kerap bercerita tentang hubungan sultan dan raja Islam di Nusantara dengan Makkah. Itu sudah menggejala sejak bermulanya proses Islamisasi massal di kepulauan Asia tenggara ini pada akhir abad ke-13 M. Terdapat pula laporan-laporan perihal sultan yang berniat pergi haji.
Menurut beberapa sumber, sambung Azra, dua sultan awal Kerajaan Islam Melaka pada abad ke-15 M ingin naik haji, tetapi keduanya lebih dulu wafat sebelum sempat mewujudkan niatnya. Selanjutnya, berbagai sultan di nusantara sejak dari Kerajaan Aceh, Palembang, Banten, Mataram sampai Makassar berusaha mendapat pengakuan dari Makkah.
Sebab, mereka memandang Tanah Suci sebagai pusat kewenangan keagamaan dan sekaligus otoritas politik. Untuk kepentingan itu, sultan-sultan ini menyatakan niat pergi berhaji yang, dalam kenyataannya, sering dilakukan badal. Maka, para utusan dikirimkan secara khusus ke Haramain bukan hanya untuk melakukan haji pengganti, tetapi juga bertemu langsung kepada penguasa (syarif) Makkah untuk meminta (simbol-simbol) legitimasi.
Praktik badal haji ini diduga dilakukan, antara lain, oleh Laksamana Hang. Pahlawan bangsa Melayu yang hidup di Melaka kira-kira abad ke-15 M itu dikisahkan naik haji, sebagaimana tersebut dalam Hikayat Hang Tuah yang ditulis di Johor pada akhir abad ke-17 M. Menurut Azra, petinggi istana Melaka itu kelihatannya tidak menunaikan rukun Islam kelima, tetapi hajinya diganti oleh seseorang. Badal inilah yang kemudian menuliskan pengalaman naik haji atas nama sang laksamana.
“Naik haji bagi sultan atau raja dan elite politik di istana memberi tambahan legitimasi di mata para warganya. Sebaliknya, di pihak warga yang mampu, naik hajinya sang sultan atau petinggi istana memberikan inspirasi dan dorongan untuk juga pergi naik haji,” tulis penulis buku monumental, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII itu.
Berhaji, pribadi maupun badal, bukanlah tujuan satu-satunya orang Indonesia di Tanah Suci. Perjalanan laut ke dari Nusantara ke Arab bisa berlangsung berbulan-bulan. Maka begitu tuntas musim haji, mereka cenderung suka menghabiskan waktu dengan menuntut ilmu kepada alim ulama Haramain, alih-alih hanya menunggu kesiapan kapal yang akan mengantarkannya ke kampung halaman.
Azra memaparkan, dengan semakin banyaknya jamaah haji dan penuntut ilmu di Makkah, terbentuklah sebuah komunitas yang dalam sumber-sumber Arab disebut sebagai 'Ashab al-Jawiyyin' (harfiah: rekan-rekan kita orang 'Jawi'). Sebutan Jawi itu mengacu bukan khusus kepada 'orang Jawa', tetapi orang-orang Islam dari Nusantara secara keseluruhan.
Hampir seluruh ulama yang berperan penting dalam pembaruan dan dinamika intelektual dan sosial Islam di Nusantara sejak abad ke-17 M dan seterusnya adalah jebolan Makkah. Sebagian mereka juga menambah ilmunya di Madinah. Alhasil, menurut Azra, dua kota suci menjadi focal point keilmuan dan keulamaan.
Mulai abad ke-16 M, kekuatan maritim Eropa mulai menghampiri negeri-negeri pesisir di Asia. Awalnya, Spanyol dan Portugis mendominasi dan saling bersaing. Namun, memasuki abad ke-17 M, kekuatan mereka—terutama Portugis—di Samudra Hindia mulai memudar. Pada saat yang sama, Kekhalifahan Turki Utsmaniyah juga kehilangan kendali atas jalur perdagangan Nusantara-Arab. Sejak saat itu, Belanda dan Inggris-lah yang lebih mendominasi kawasan perairan tersebut.
Pelayaran haji
M Dien Majid dalam buku Berhaji di Masa Kolonial menerangkan, jamaah haji Nusantara pada abad ke-17 umumnya menumpangi kapal-kapal dagang miliki orang Arab atau India. Kebanyakan armada itu berlabuh di Temasek (Singapura) atau Penang sehingga mereka harus menuju ke sana terlebih dahulu. Di kedua tempat itu, sudah terdapat kapal-kapal khusus semacam embarkasi bagi jamaah haji.
Rute yang normal dari Asia Tenggara ke Jeddah dapat ditempuh dalam jangka waktu “hanya” lima atau enam bulan. Akan tetapi, calon jamaah haji kerap menghabiskan waktu di daerah sekitar embarkasi untuk menambah uang dan bekal. Tak sedikit dari mereka yang bersedia menjadi pekerja perkebunan di Singapura dan Penang, baik sebelum ataupun sepulangnya dari menunaikan rukun Islam kelima.
Sejak abad ke-18, dominasi Belanda kian menguat di seluruh wilayah Nusantara. Calon jamaah haji dipersulit dengan adanya berbagai peraturan (besluit) sepihak yang dilancarkan Kompeni. Misalnya, aturan tertanggal 4 Agustus 1716 yang melarang kapal-kapal Belanda untuk mengangkut jamaah haji.
Alhasil, para calon tamu Allah itu harus menumpangi banyak kapal dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya hingga berhasil keluar dari wilayah Hindia Belanda. Untuk selanjutnya, mereka menuju Jeddah dengan melalui beberapa pelabuhan di pesisir India atau Hadramaut (Yaman).
Pada permulaan abad ke-19, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC/Kompeni) dinyatakan bangkrut. Nusantara pun mulai dikuasai secara langsung oleh Negeri Belanda. Namun, pelayaran haji sempat terbebas dari kendali langsung Belanda.
Sebagai contoh, pada 1825 untuk pertama kalinya Muslimin Nusantara menggunakan kapal khusus pengangkut jamaah haji. Kapal itu disediakan seorang saudagar Melayu bernama Syekh Umar Bugis. Sejak saat itu, musim haji dianggap sebagai momen bisnis yang menguntungkan.
Inggris pun tertarik untuk ikut menarik keuntungan dari bisnis haji. Pada 1858, perusahaan Britania Raya menggunakan kapal uap untuk mengangkut jamaah haji Nusantara dari Batavia (Jakarta). Inilah untuk pertama kalinya Muslimin Indonesia berangkat haji dengan menumpangi kapal uap. Waktu tempuh dari Nusantara ke Arab pun menjadi lebih ringkas ketimbang dengan kapal layar. “Hanya” perlu 20 atau 25 hari untuk bisa sampai di Jeddah.
Sebagai perbandingan, dahulu ketika kapal layar masih menjadi andalan, jamaah haji Nusantara tidak bisa langsung sampai di Arab, tetapi harus singgah terlebih dahulu di banyak lokasi. Katakanlah, mereka berangkat dari Aceh, maka mesti berlabuh di India. Dari India, mereka kemudian mencari kapal lain yang hendak berlayar menuju Hadramaut (Yaman) atau Jeddah. Semua itu tentunya memakan waktu berbulan-bulan.
Langkah korporasi Inggris itu diikuti berbagai pebisnis lainnya dari India, Singapura, atau Arab. Pesatnya persaingan bisnis itu membuat orang-orang yang hendak berhaji mencari celah agar dapat berhemat. Untuk mengurangi biaya transportasi, sekelompok keturunan Arab di Batavia menggalang dana bersama. Mereka kemudian membeli kapal dari Basier en Jonkheim. Armada tersebut dapat membawa 400 orang jamaah haji sekali jalan dari Batavia, ke Padang, hingga Jeddah.
Terusan Suez di Mesir dibuka pada 1869. Sejak saat itu, bisnis pelayaran menjadi begitu bergairah. Pemerintah kolonial Belanda pun ikut-ikutan dalam usaha transportasi perjalanan haji Nusantara. Setahun setelah Konsulat Belanda berdiri di Jeddah pada 1872, Belanda mengadakan perjanjian kontrak dengan tiga perusahaan pelayaran, yaitu Rotterdamasche Llyod, Mij Nederland, dan Mij Oceaan. Korporasi-korporasi itu belakangan dikenal sebagai Kongsi Tiga.
Bagaimanapun, jamaah haji Nusantara cenderung bersikap dingin terhadap Belanda. Apalagi, rezim kolonial itu kerap mengeluarkan berbagai aturan yang menyulitkan perjalanan haji. Alhasil, banyak calon tamu Allah itu yang lebih memilih Singapura atau Malaya sebagai embarkasi haji, alih-alih Batavia.
Kolonial mengatur
Mulanya pada 18 Oktober 1825. Itulah untuk pertama kalinya, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan terhadap haji. Beleid itu termuat dalam surat rahasia yang diedarkan kepada para pejabat kolonial hingga level perdesaan.
Isinya, mengharuskan tiap calon jamaah haji untuk memiliki paspor ibadah haji. Selain itu, ongkos naik haji juga ditetapkan sebesar f 110. Bila menghindar, seorang haji akan dikenakan denda dua kali lipat begitu kembali ke Tanah Air.
Putuhena menjelaskan, aturan tersebut didasari kekhawatiran Belanda terhadap kian bertambahnya jumlah jamaah haji asal Nusantara dari tahun ke tahun. Mereka cemas bila para haji membawa gagasan Pan-Islamisme sepulangnya dari Makkah, untuk kemudian menginspirasi gerakan perlawan terhadap rust en orde atau tatanan kolonial.
Agar tak dituding memetik untung dari haji, pemerintah berdalih, dana sebesar f 110 itu diperuntukkan bagi kepentingan masjid wilayah masing-masing. Namun, rakyat umumnya merasa terganggu dengan adanya peraturan demikian.
Dua tahun kemudian, Belanda meringankan peraturan itu. Anak-anak di bawah usia 12 tahun dibebaskan dari membayar. Namun, respons publik tetap saja dingin.
Erlita Tantri dalam artikelnya, “Hajj Transportation of Netherlands East Indies 1910-1940” menjelaskan, para calon jamaah haji Nusantara pada zaman kolonial dapat menentukan dari titik mana mereka akan memulai perjalanan ibadahnya. Setidaknya, ada tiga pilihan utama.
Pertama, mereka dapat menggunakan kapal-kapal milik perusahaan Belanda yang berangkat dari pelabuhan-pelabuhan besar Nusantara, seperti Batavia. Kedua, mereka pergi terlebih dahulu ke Singapura, Penang, atau Malaya karena di ketiga tempat itulah terdapat embarkasi haji yang terbuka bagi orang luar koloni Inggris. Selanjutnya, mereka menaiki kapal milik perusahaan Britania Raya.
Ketiga, mereka menumpangi kapal laut jarak jauh yang menuju Bombay atau Suez. Dari sana, barulah mereka berlayar ke Jeddah, untuk selanjutnya Madinah dan Makkah. Semua pilihan di atas pelan-pelan ditinggalkan, terutama sejak merebaknya opsi perjalanan haji via udara.
Statistik
Begitu besar antusiasme orang Indonesia demi bisa memenuhi panggilan berhaji, bahkan sejak zaman penjajahan. Berdasarkan laporan resmi Pemerintah Hindia Belanda yang dikeluarkan pada 1941, pada 1878 (dengan kapal layar) jamaah haji Indonesia tercatat sekitar 5.331 orang. Setahun kemudian atau pada 1880, jumlah itu menjadi 9.542 jamaah. Artinya, naik hampir dua kali lipat.
Perbandingannya dengan jamaah dari negeri-negeri lain juga terbilang besar. Pada 1921, ada sebanyak 28.795 jamaah haji asal Hindia Belanda. Itu setara 47,3 persen dari total jamaah haji seluruh dunia pada tahun itu, yakni sebanyak 60.786 orang. Bahkan, saat resesi ekonomi pada 1928 jamaah haji Nusantara justru meningkat menjadi 28.952 dari 52.412 orang jamaah seluruh dunia. Hingga 1930-an, jamaah haji Indonesia berjumlah di atas 39 ribu orang.
Pada zaman Jepang, tak diketahui secara pasti jumlah jamaah haji Indonesia. Apalagi, pada zaman mempertahankan kemerdekaan, periode 1945-1948. Perang menjadi alasan tiadanya statistik yang memadai untuk itu.
Masa Indonesia merdeka
M Fuad Nasar dalam artikelnya, “Sejarah Berhaji Orang Indonesia”, yang terbit pada laman Kementerian Agama RI menjelaskan, perbaikan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia pertama kali diperjuangkan oleh Persyarikatan Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan membentuk Bagian Penolong Haji yang kemudian diketuai oleh seorang muridnya, KH Muhammad Syudja’ pada 1921 M. Gerakan Islam yang berpusat di Yogyakarta ini juga mengirim utusan ke Arab Saudi guna memberikan saran-saran perbaikan kepada pihak setempat yang berwenang soal haji.
“Bagian Penolong Haji membentuk Komite Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia yang beranggotakan para ulama dan kaum cendekia. Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi Minangkabau tahun 1930 merekomendasikan agar mengadakan pelayaran sendiri untuk pengangkutan jemaah haji Indonesia,” tulis Fuad Nasar.
Dalam masa revolusi kemerdekaan, lanjut Fuad, pemerintah RI mengirim dua kali misi haji ke Arab Saudi. Yang pertama diberangkatkan pada tahun 1948. Rombongannya terdiri atas tokoh-tokoh, yakni KHR Muhammad Adnan, Ismail Banda, KH M Saleh Suaidy, dan Haji Syamsir.
Adapun misi haji yang kedua merupakan perutusan resmi haji Indonesia yang pertama sesudah Perang Dunia II. Rombongan yang bertolak ke Saudi pada 1949 ini terdiri dari H Abd Hamid, M Noor Ibrahimy, Prof Ali Hasjmy, Prof Abdul Kahar Mudzakkir, dan Haji Sjamsir. Kepada mereka, pemerintah memberikan amanah tugas, bukan hanya soal penyelenggaraan haji, tetapi juga diplomasi dalam rangka menggalang dukungan internasional—khususnya dunia Arab—bagi perjuangan RI mempertahankan kemerdekaan.
Setelah Pengakuan Kedaulatan RI pada akhir tahun 1949, penyelenggaraan haji RI kembali bergiat. Pemerintah pada 1950 memberangkatkan jamaah haji dengan menggunakan sarana transportasi kapal laut. Kuota yang diterima Indonesia ialah 10 ribu peziarah, sedangkan jumlah jamaah haji dari RI saat itu kurang lebih 9.907 orang. Fuad menuturkan, pada waktu kapal haji yang pertama, Tarakan, hendak berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, menteri agama RI KH Abdul Wahid Hasyim mengisi pidato pelepasan jamaah haji. Dalam kesempatan itu, ayahanda KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut berpesan kepada kapten kapal, “Saya percayakan keselamatan jemaah haji ini kepada Tuan. Saya harap mereka mendapat pelayanan yang sesuai dengan kehormatannya.”
Buku Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik mengungkapkan pelbagai usaha penting A Wahid Hasyim saat menakhodai Kemenag RI, khususnya dalam rangka memperbaiki penanganan urusan haji. Ia membuat kebijakan, pelaksanaan haji sepenuhnya ditangani pemerintah, yakni melalui Bagian Urusan Haji dari Kemenag. Dalam pelaksanaannya, entitas ini bersinergi dengan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI). Hadirnya negara bertujuan, antara lain, agar tidak ada lagi kejadian bahwa calon jamaah haji RI terbujuk rayuan pihak-pihak tertentu yang ingin mengeksploitasi mereka, baik di Tanah Air maupun Arab Saudi.
Yayasan PHI terbentuk sebagai hasil dari Muktamar Kongres Muslimin Indonesia yang berlangsung pada Desember 1949. Forum yang dihelat di Yogyakarta ini diikuti delegasi dari 156 organisasi Islam. Dua tahun kemudian, berdirilah yayasan yang dimaksud.
Dari laut ke udara
Menurut Prof Budi Sulistiono dalam “Ibadah Haji dan Tradisi Budaya Sosial” (2018), kapal laut masih menjadi alat transportasi andalan untuk memberangkatkan jamaah haji Indonesia. Bahkan, kondisi itu tetap bertahan meskipun moda pesawat terbang sudah mulai dipakai sejak 1952 demi melayani jamaah haji Indonesia.
Memang, calon jamaah mesti mengeluarkan biaya lebih mahal untuk dapat menumpangi “burung besi.” Waktu itu, ongkosnya mencapai sekitar Rp 17 ribu per orang. Besaran tersebut lebih dari dua kali lipat tarif kapal laut kala itu, yakni Rp 7.500. Wajar bila jalur laut masih menjadi primadona.
Pada 1952, calon jamaah haji asal Indonesia yang menggunakan kapal laut tercatat sebanyak 14.031 orang, sedangkan via pesawat terbang sebanyak 293 orang.
Padahal, perjalanan laut bisa memakan waktu tiga bulan lamanya. Tak jarang pula ada calon jamaah yang wafat di atas kapal, sebelum tiba di Tanah Suci.
“Pengalaman ini tak dirasakan oleh jamaah haji setelah tahun 1979. Sebab, kapal-kapal pengangkut calon jamaah haji dari Indonesia terakhir kali beroperasi pada tahun itu,” tulis guru besar ilmu sejarah kebudayaan Islam itu.